PENDAHULUAN
Poligami merupakan hal cela dan menurunkan martabat wanita. Itulah
gambaran yang sesuai mengenai seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan
lebih dari satu di negara Indonesia. Sekian banyak karya-karya yang menolak
adanya poligami. Mayoritas karya mengenai hal itu muncul dari kalangan gender
atau orang-orang yang terkontaminasi dengan pemikiran barat. Perempuan merasa
direndahkan dan dipandang sebelah mata dengan adanya poligami. Bahkan ada yang
beranggapan bahwa poligami tidak memanusiakan wanita yang seharusnya
dimanusiakan dan diposisikan sebagaimana laki-laki.
Mereka yang tidak mengenal poligami berargumen bahwa pada masa Nabi
Muhammad poligami menjadi sesuatu yang lumrah, sebab sering terjadi peperangan yang
mengakibatkan banyaknya pejuang Islam gugur di medan perang. Oleh karena itu,
poligami sangat dibutuhkan pada saat itu, sedangkan pada masa sekarang
peperangan sudah tidak ada. Dari sini penyebab poligami sudah hilang ditelan
waktu seiring dengan hilangnya peperangan. Mungkin argumentasi ini bisa
dibenarkan bagi orang yang baru mempelajari ilmu Ushul Fikih khususnya dalam
permasalahan Qiyas. Dengan menggunakan kaidah hukum bisa hilang beriringan
dengan hilangnya penyebab hukum (‘Ilah al-Ḥukum). Namun,
sadarkah bahwa penggunaan Qiyas seperti ini jelas bertentangan dengan dasar
hukum yang bersifat pasti (Qaṭʻi). Al-Qur’an
adalah dasar hukum yang bersifat pasti (Qaṭʻi). Jika sesuatu
yang telah dicantumkan dalam al-Qur’an bisa musnah, maka ayat-ayat al-Qur’an
ada batas waktu relevannya. Demikian ini jelas bertentangan dengan kaidah yang
menjelaskan bahwa al-Qur’an selalu relevan dalam setiap ruang dan waktu (al-Qur’ān ṣāliḥ li
kulli al-Zamān wa
al-Makān).
Fenomena yang sering kali terjadi di Indonesia ketika seseorang
sudah populer dan menjadi cermin publik menjalankan ibadah poligami, pandangan
positif publik berbalik 180 derajat menjadi negatif dan popularitasnya lebur
ditelan celanya poligami. Bila difikir kembali siapa yang salah dan siapa yang
tidak faham terhadap ajaran Islam terutama pendapat intelektual muslim dalam
bab pernikahan? Negara Indonesia termasuk salah satu negara yang mayoritas
penduduknya mengikuti faham al-Shāfiʻi dan al-Shāfiʻiyah dalam
urusan fikih. Al-Shāfiʻi menjelaskan bahwa menikah dengan 4 perempuan merupakan sebuah
dispensasi bagi laki-laki.[1]
Secara bijak al-Shāfiʻi menggunakan kata dispensasi menikahi 4 perempuan dengan demikian
secara langsung dan jelas al-Shāfiʻi melegalkan
menikah dengan 4 perempuan.
Ketika al-Shāfiʻi melegalkan menikah dengan 4 perempuan, lantas siapa yang dianut
oleh mayoritas penduduk Indonesia dalam bab pernikahan (al-Munākahah) sehingga bisa
memunculkan statemen negatif terhadap orang yang berpoligami? Segala sesuatu
yang dilegalkan oleh Shāriʻ mengandung kemanfaatan dan hikmah yang kembali pada manusia dan
segala susuatu yang diharamkan Shāriʻ mengandung
mudharat bagi manusia pula. Ungkapan tersebut merupakan kaidah dasar yang
lumrah didengarkan oleh umat Islam, namun kenyataannya mayoritas umat Islam di
Indonesia tidak mau menerapkan kaidah tersebut dalam masalah poligami.
Apakah kita akan mengatakan bahwa poligami tidak boleh dan tidak
dilegalkan pada masa sekarang atau menganggap cela bagi orang yang berpoligami
hanya dengan dasar keadilan dan kesetaraan gender? Padahal sudah jelas poligami
merupakan hal yang dilegalkan syariat Islam. Orang-orang yang menolak poligami
dan menganggap orang yang berpoligami tidak memanusiakan wanita, sama halnya
dengan orang-orang yang mengatakan haram terhadap sesuatu yang dihalalkan
Allah. Seorang Nabi yang sangat dicintai Allah mendapatkan teguran keras
disebabkan mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah sebagaimana dalam
firman Allah (Q.S. al-Taḥrīm: 1)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai Nabi,
mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari
kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[2]
Sayyid Quṭub menafsirkan ayat di atas, “Ayat itu
turun sebagai gambaran marahnya Allah terhadap seseorang yang mengharamkan pada
dirinya sesuatu yang telah dihalalkan Allah baik dari keindahan hidup di dunia
atau lainnya. Ayat ini diwahyukan pada Nabi Muhammad dengan tujuan larangan
mengharamkan sesuatu yang halal baik secara sengaja, dengan tujuan tertentu,
atau pencitraan.”[3]
Ayat di atas yang harus dipertimbangkan ulang oleh para penolak poligami,
sehingga tidak mudah berpendapat dan beranggapan bahwa poligami merupakan
sesuatu yang tidak layak bagi perempuan dan menganggap cela bagi orang-orang
yang berpoligami.
Melihat judul yang diangkat oleh penulis
yang berkaitan dengan poligami merupakan anjuran utama pernikahan dalam
al-Qur’an nampak beda dengan penelitian-penelitian tentang poligami yang sudah
ada. Pada umumnya penelitian mengenai poligami berkutat terhadap dampak buruk
yang terjadi ketika seseorang berpoligami, izin istri sebagai syarat
berpoligami, poligami dalam hukum Islam Indonesia, dan lain sebagainya. Dari
sekian banyak penelitian mengenai poligami, belum ada satupun pembahasan yang menjelaskan
tentang poligami merupakan anjuran umata dalam pernikahan. Inilah yang menjadi
pembeda dari penelitian-penelitian sebelumnya dalam permasalahan poligami.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang
berarti data-data diperoleh dari kitab-kitab yang berkaitan dengan tafsir
khususnya penafsiran surat al-Nisāʼ ayat 3. Selanjutnya untuk menganalisis
ayat tersebut dibutuhkan metode penafsiran yang bersifat Taḥlili. Metode penafsiran Taḥlili ialah menafsirkan ayat al-Qur’an dengan penafsiran panjang
lebar. Untuk mengetahui arti yang terselubung dari ayat tersebut dibutuhkan
pendekatan linguistik-semiotik yang memiliki arti pendekatan dari sudut pandang
bahasa baik yang bersangkutan dengan lafad, tujuan lafad, yang ditunjukkan oleh
lafad, dan hasil dari lafad.[4]
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebab Turun Ayat dan Penafsirannya
Pada hakikatnya menikah dengan perempunya
tanpa ada batas (lebih dari 4 perempuan) hukumnya boleh. Hal ini melihat kepada
legalitas poligami tanpa batas pada syariat-syariat sebelum Nabi Muhammad. Mengingat
dasar kaidah fikih yang diangkat oleh al-Shāfiʻi yang berupa al-Aṣl fī al-Ashya’ al-Ibāḥah hatta Yadul al-Dalīl ‘alā ‘Adam al-Ibāḥah (hukum asal dari segala sesuatu mubah hingga adanya
dasar yang menghilangkan hukum mubah tersebut)[5] menjadikan
hukum poligami tanpa batas merupakan kelegalan. Namun, legalitas poligami lebih
dari 4 perempuan menjadi ilegal sebab adanya teks suci yang membatasi legalitas
poligami. Batasan poligami dari teks suci umat Nabi Muhammad ini yang harus
diikuti dan diyakini hingga akhir zaman sebagaimana dalam firman Allah (Q.S. al-Nisāʼ:
3)
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[6]
Jika ayat yang menjelaskan jumlah batasan
dalam pernikahan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjadikan Sharʻ man Qablanā (Syariat sebelum kita) sebagai metode
pengambilan hukum, maka kaum laki-laki diperbolehkan menikah dengan perempuan
tanpa batas seperti halnya umat-umat nabi terdahulu versi intelektual muslim
yang berpendapat Sharʻ man Qablanā bisa dijadikan metode perumusan hukum Islam.
Bila diteliti kembali dari sebab turunnya
surat al-Nisāʼ ayat 3 di atas, pada awalnya tidak bertujuan sebagai batasan
maksimal poligami, melainkan mengkisahkan seseorang yang diamanahi menjaga
harta anak yatim sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhāri dan Muslim dari ʻA̅ishah.
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ التَّمِيمِيُّ، أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى، حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ
عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا الْآيَةَ، قَالَتْ: أُنْزِلَتْ هَذِهِ فِي
الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ الْيَتِيمَةُ وَهُوَ وَلِيُّهَا، وَلَهَا مَالٌ، وَلَيْسَ
لَهَا أَحَدٌ يُخَاصِمُ دُونَهَا، فَلَا يُنْكِحُهَا حُبًّا لِمَالِهَا وَيَضُرُّ
بِهَا وَيُسِيءُ صُحْبَتَهَا، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
يَقُولُ: مَا أَحْلَلْتُ لَكُمْ وَدَعْ هَذِهِ.[7]
Riwayat dari sebab diturunkan ayat sebagaimana
yang diriwayatkan dari ʻA̅ishah mengindikasikan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan menikahi anak perempuan yatim dengan tujuan menguasi dan
memanfaatkan hartanya. Hal ini dianjurkan agar tidak semena-mena terhadap hak
anak yatim dan ajuran agar menghormati anak yatim sebagaimana yang dijelaskan
pada ayat sebelumnya (Q.S. al-Nisāʼ: 2)
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ
إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
“Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar
yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar.”[8]
Oleh karena itu, bagi seseorang yang
diamanahi untuk menjaga harta anak yatim dilarang menikahinya bila bertujuan
untuk mendapatkan harta dan kecantikan anak yatim tersebut, namun tidak bisa
memperlakukannya dengan sebaik mungkin. Jika seseorang menikahi anak perempuan
yatim tidak dengan tujuan menguasai dan memanfaatkan harta serta bisa
memperlakukannya dengan sebaik mungkin, maka tidak ada larangan untuk
menikahinya dengan dasar kaidah fikih Intifāʻ al-Ḥukm ‘inda Intifāʼ al-‘Illah (hukum tidak berlaku ketika sebab hukum tidak
ditemukan).[9]
Lepas dari permasalahan menikahi anak yatim
sebagaimana pada riwayat di atas, terdapat satu riwayat lain menjelaskan bahwa
sebab turunnya surat al-Nisāʼ ayat 3 bertujuan untuk menyamakan posisi poligamer
dengan pemegang harta anak yatim. Melihat kondisi sebelum diturunkannya ayat
poligami, masyarakat saat itu sangat mempermudah dalam urusan pernikahan
melebihi dari 4 dan tidak memperhitungkan keadilan pada para istrinya. Meski
masyarakat saat itu mempermudah dalam urusan pernikahan, namun dalam urusan
harta anak yatim mereka merasa sangat khawatir. Ayat ini diturunkan dengan
tujuan adanya kesamaan dalam urusan poligami dengan harta anak yatim yang harus
selalu diperhatikan keadilannya. Riwayat mengenai sebab turunnya ayat ini
datang dari Saʻīd bin Jubair, Qatādah, al-Rabīʻ, dan lainnya:
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ
وَقَتَادَةُ وَالرَّبِيعُ وَالضَّحَّاكُ وَالسُّدِّيُّ: كَانُوا يَتَحَرَّجُونَ
عَنْ أَمْوَالِ الْيَتَامَى وَيَتَرَخَّصُونَ فِي النِّسَاءِ، وَيَتَزَوَّجُونَ
مَا شَاءُوا، فَرُبَّمَا عَدَلُوا وَرُبَّمَا لَمْ يَعْدِلُوا، فَلَمَّا سَأَلُوا
عن اليتامى، فنزلت آيَةُ الْيَتَامَى: (وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ)
الْآيَةَ، أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى أَيْضًا: (وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى) الْآيَةَ. يَقُولُ: كما خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى، فَكَذَلِكَ فَخَافُوا فِي النِّسَاءِ أَنْ لَا تَعْدِلُوا فيهن، فلا
تزوجوا أَكْثَرَ مِمَّا يُمْكِنُكُمُ الْقِيَامُ بِحَقِّهِنَّ، لِأَنَّ النِّسَاءَ
كَالْيَتَامَى فِي الضَّعْفِ وَالْعَجْزِ، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي
رِوَايَةِ الْوَالِبِيِّ.[10]
Bila dilihat dari sebab nuzul ini, maka
bisa ditarik kesimpulan bahwa haram hukumnya memperlakukan istri
sewenang-wenang sebagaimana haram hukumnya memperlakukan anak yatim
sewenang-wenang, sebab ada kesamaan antara istri dengan anak yatim yang sama-sama
bertabiat lemah. Oleh karena itu, bila seseorang tidak bisa adil terhadap istrinya,
maka ia tidak diperbolehkan menikah walau dengan satu istri dan hanya
diperbolehkan memanfaatkan budak yang dimiliknya.
Mengenai surat al-Nisāʼ: 3 al-Ṭabari memberikan kesimpulan, “Ketika kalian merasa takut tidak bisa adil
pada anak-anak yatim, maka demikian pula seharusnya ketika memperlakukan istri-istri
kalian. Jangan menikahi perempuan baik satu atau empat kecuali berkeyakinan
dapat memperlakukannya dengan sebaik mungkin. Ketika tidak memiliki keyakinan
dapat memperlakukan sebaik mungkin, maka jangan sekali-kali menikahi perempuan
dan cukuplah dengan budak yang telah kalian miliki.”[11]
Dari penafsiran al-Ṭabari ini mengindikasi bahwa laki-laki tidak diperbolehkan menikah
dengan perempuan merdeka ketika laki-laki tersebut tidak bisa memperlakukan
wanita dengan cara yang adil. Bagi laki-laki tersebut hanya bisa menyalurkan
hasrat seksualnya pada para budak yang dimilikinya. Yang harus diperhatikan
saat menikah dengan perempuan merdeka ialah mawas diri seperti mawasnya diri
saat menjaga harta anak yatim. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang
menjelaskan ketidak sanggupan menikahi perempuan merdeka dan yang menjadi
solusinya adalah para perempuan budak yang beriman (Q.S. al-Nisāʼ: 25)
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ
“Dan barangsiapa
diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki.”[12]
Poligami Anjuran Utama dalam Pernikahan
Pembahasan poligami merupakan salah satu
pembahasan kontroversial baik pada masa klasik maupun modern. Pembahasan ini
selalu menarik perhatian untuk dikaji dan didalami kembali dari sudut pandang
dan pendekatan yang berbeda-beda. Para pemikir dan peneliti ada yang memberikan
persyaratan ketat seakan-akan menutup kesempatan untuk menjalankan ibadah
poligami. Adapula yang berideologi membuka peluang poligami dengan lebar tanpa
batasan sehingga mengakibatkan nasib perempuan terkatung-katung tidak ada
kejelasan. Pendapat kedua ini yang mendapatkan antisipasi dari al-Qur’an
sebagaimana dalam firman Allah (Q.S. al-Nisāʼ: 192)
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung.”[13]
Lepas dari polemik poligami yang sudah ada,
bila dianalisis kembali ternyata poligami merupakan anjuran utama dalam al-Qur’an
sebagaimana yang maktub dalam al-Qur’an surat al-Nisāʼ ayat 3. Mari diperhatiakan dari sudut pandang linguistik dari ayat
tersebut.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[14]
Pada ayat di atas memerintahkan pada
laki-laki yang hendak menikahi perempuan dengan angka Mathnā (dua-dua)
dan berakhir hingga angka Rubāʻ (empat-empat). Dari sini bisa difahami
bahwa pada hakikatnya laki-laki minimal harus menikahi 2 perempuan dan maksimal
4 perempuan. Al-Qur’an memerintahkan laki-laki berpoligami dan memerintahkan
agar semua laki-laki berpoligami tanpa adanya kriteria khusus atau jenis laki-laki
yang akan menegakkan ibadah poligami.
Bila dirinci kembali atas pemahaman teks suci di atas,
lafad فانكحوا adalah lafad Amr (perintah) bagi
kaum adam untuk menikah dengan perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa menikah
merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh semua kaum adam berdasarkan
kaidah al-Aṣl fī al-Amr Yadul ʻalā al-Wujūb (hukum asal dari lafad
perintah menunjukkan pada kewajiban). Lebih penting dari itu, perintah
kewajiban menikahi perempuan bukan hanya satu perempuan, akan tetapi minimal 2
perempuan. Jika surat al-Nisāʼ ayat 3 memerintahkan laki-laki menikahi satu
perempuan atau poligami tidak dianjurkan, maka Allah tidak akan menggunakan
lafad مثنى (dua-dua)
pada permulaan perintah dalam pernikahan.
Pemahaman teks surat al-Nisā’: 3 sama halnya bila
seseorang berkata اضرب عمرا مثنى
فإلم تستطيع فواحدة (pukullah Umar dua-dua, bila tidak bisa satu kali
pukulan saja). Seseorang yang diperintah memukul Umar tidak mungkin pada
permulaan menjalankan perintah memukul hanya satu kali melainkan dua kali
pukulan, namun bila tidak bisa maka solusi terakhir adalah hanya dengan satu
pukulan. Pada surat al-Nisā’: 3, seorang laki-laki boleh menikahi satu
perempuan bila ia merasa tidak mampu. Oleh karena itu, ketidak mampuan ini
menggugurkan permulaan perintah menikahi perempuan dua hingga 4 perempuan.
Sama halnya dengan kewajiban berwudhu ketika hendak
mendirikan shalat sebagaimana dalam firman Allah (Q.S. al-Māidah: 6)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ
جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا
مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”[15]
Wudhu merupakan langkah pertama bagi seseorang yang
hendak mendirikan ibadah shalat. Dengan menggunakan air dan organ tubuh
tertentu yang harus dibasuh atau diusap ketika berwudhu, namun kewajiban wudhu
bisa gugur apabila seseorang yang hendak mendirikan shalat berada diperjalanan
atau sakit dan pada saat itu tidak ditemukan air yang bisa digunakan umtuk berwudhu.
Bersuci dengan debu menjadi afiliatif bagi orang yang tidak menemukan air
tersebut. Jika demikian, maka kewajiban bagi seseorang yang hendak mendirikan
shalat ialah berwudhu, sebab awal mula perintah untuk mensucikan diri dengan
menggunakan air. Namun, bila tidak ditemukan air, maka solusi yang diberikan Allah
pada hamba-Nya ialah bertayamum dengan menggunakan debu. Seseorang yang hendak
mendirikan shalat tidak diperbolehkan bersesuci dengan menggunakan debu apabila
masih ada air dan tidak ada udzur. Sama halnya dengan poligami yang pada
awalnya menjadi perintah utama dan bila tidak mampu maka afiliatifnya adalah
menikahi satu perempuan atau menikah dengan budak yang dimilikinya.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa kewajiban
berpoligami bisa gugur apabila suami merasa dirinya tidak mampu menegakkan
keadilan diantara para istri yang dimilikinya sebagaimana yang ada dalam teks فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً . Ketidak mampuan dalam menegakkan keadilan
antara para istri ini menjadi penyebab hilangnya kewajiban poligami dan hanya
dibatasi dengan adanya satu istri. Larangan tidak terbatas pada urusan poligami
bagi lelaki yang tidak mampu menegakkan keadilan, namun larangan menikah
berlanjut bagi lelaki yang tidak bisa menjalankan keadilan pada satu istri.
Oleh karena itu, lafad setelahnya memerintahkan lelaki untuk menikahi budak yang
dimilikinya bagi yang tidak bisa menegakkan keadilan sebagaimana dalam teks أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ.
Dalam masalah pernikahan, Allah memberikan
dua kali dispensasi bagi kaum lelaki yang pertama menikah dengan satu perempuan
jika tidak bisa menegakkan keadilan pada para istri dan kedua menikahi budak
yang sudah dimiliki bagi yang tidak bisa memperlakukan seorang istri dengan
sebaik mungkin. Maksud adil yang ada dalam ayat al-Qur’an bukan berarti adil
dalam segala aspek, akan tetapi keadilan yang harus ditegakkan hanya meliputi
keadilan dalam materi, keadilan dalam pembagian jatah bersama para istri, dan
memperlakukan istri dengan sebaik mungkin. Menegakkan keadilan dengan konsep
seperti ini bukan hal yang mustahil bahkan sangat mudah untuk dilakukan.
Masalah keadilan dalam pernikahan khususnya
poligami disinggung kembali pada surat al-Nisāʼ ayat 129
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ
الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[16]
Al-Shāfiʻi menafsirkan lafad adil yang tidak bisa
dilakukan oleh manusia dalam pernikahan bukan adil dalam urusan cinta atau
hati, akan tetapi lingkup adil khusus dalam masalah nafkah dan waktu menggilir
para istri. Keadilan dalam permasalahan cinta atau hati bukan menjadi tuntutan
bagi laki-laki yang berpoligami.[17]
Muhammad Ṣiddīq Khān menafsirkan,
“Allah mengkhabarkan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa berlaku adil pada
para istrinya sehingga bisa dipastikan akan condong pada salah satu istri yang
dimiliki, kecondongan diri ini merupakan tabiat manusia dan merupakan
kewajaran. Oleh karena itu, Nabi Muhammad bersabda: اللهم
هذا قسمي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك.[18]
Allah tidak akan memerintahkan sesuatu pada
hamba-Nya bila perintah tersebut menyulitkan dan tidak mampu dijalani oleh para
hamba. Demikan juga dengan perintah berpoligami, ketika keadilan dalam segala
aspek tidak mungkin dilakukan oleh para poligamer, Allah memberikan kekhususan
dalam hal keadilan yang berupa adil dalam memberikan nafkah dan penggiliran
para istri. Dengan demikian, maka menegakkan perintah berpoligami sangat mudah
dilaksanakan kaum adam.
Simpulan
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya
poligami merupakan anjuran utama dalam pernikahan, sebab ayat yang menjelaskan
poligami pada awalnya memerintahkan laki-laki untuk menikahi dua hingga empat
perempuan. Jika poligami bukan anjuran utama dalam pernikahan, maka al-Qur’an
tidak akan memulai jumlah perempuan yang dinikahi dengan angka dua, akan tetapi
dengan angka satu. Angka satu baru muncul pada surat al-Nisā’: 3 pada akhir pembahasan jumlah maksimal perempuan yang boleh
dinikahi. Hal ini mengindikasikan ketika tidak mampu berpoligami, maka yang
diperbolehkan menikahi satu perempuan saja.
Poligami menjadi pilihan utama dalam pernikahan dan bila tidak bisa
menegakkan keadilan, maka afiliatifnya ialah menikah dengan satu perempuan. Para
lelaki yang menikah dengan satu perempuan mengindikasikan bahwa dirinya lemah
dan tidak bisa menegakkan keadilan, sebab ia tidak bisa melaksanakan anjuran
utama dalam pernikahan sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an. Bagi
seseorang yang bisa menegakkan keadilan tidak diperbolehkan baginya menikah
dengan satu istri.
Sama halnya dengan wudhu dan tayamum ketika hendak mendirikan
ibadah shalat, pada dasarnya yang diperintahkan pada seseorang yang hendak
shalat bersuci menggunakan air, namun bagi orang yang bepergian atau sakit dan
tidak menemukan air, maka diperbolehkan baginya bertayamum menggunakan debu. Bagi
seseorang yang tidak mendapatkan udzur, maka wajibnya bersuci dengan
menggunakan air.
Daftar Pustaka
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuṭi. al-Ashbāh
wa al-Naẓāir. Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1403.
‘Ali bin Aḥmad al-Wāḥidi al-Naisāburi. Asbāb
al-Nuzūl wa bi Hamisyih al-Nāsihk wa al-Mansūkh. Bairūt: ‘A̅lam
al-Kutub. t.t.
‘Ali bin Muhammad al-A̅midi. al-Iḥkām
fī Uṣūl al-Aḥkām. Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Arabi. 1404.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV
Diponegoro. 2008.
Muhammad Arkon. al-Fikr al-Islāmii Qirāʼah ʻIlmiyah. Bairūt:
Markaz al-Inmā’ al-Qawmi. 1996.
Muhammad bin Idrīs al-Shāfiʻi. Tafsīr al-Imām al-Shāfiʻi. Saudi Arabiyah: Dār al-Tadmiriyah. 2006.
‘___________________________ʼ. al-Um. Bairūt: Dār al-Maʻrifah.
1393.
Muhammad bin Ismāʻīl al-Bukhāri. al-Jāmiʻ al-Musnad
al-Ṣaḥīh al-Mukhtaṣar min ‘Umūr al-Rasūlillah. Damaskus: Dār Ṭawq
al-Najāh. 1422.
Muhammad bin Jarīr al-Ṭabari. Jāmiʻ
al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Bairūt: Muasassah al-Risālah. 2000.
Muhammad Ṣiddīq Khān bin Ḥasan bin
ʻAli. Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān. Bairut: al-Maktabah
al-ʻAṣriyah. 1992.
Sayyid Quṭub Ibrāhīm al-Sharibi. Fi Ẓilāl al-Qur’ān. Kairo:
Dār al-Shurūq. 1412.
[2] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008), 560.
[3] Sayyid Quṭub
Ibrāhīm al-Shāribi, Fī Ẓilāl
al-Qur’ān, (Kairo: Dār al-Shurūq, 1412), 6/3615.
[4] Semiotik
dengan menggunakan pemahaman di atas mengikuti teori yang digagas oleh Muhammad
Arkon. Lihat, Muhammad Arkon, al-Fikr al-Islāmii Qirāʼah ʻIlmiyah,
(Bairūt: Markaz al-Inmā’ al-Qawmi, 1996), 87.
[5] Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓāir,
(Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403), 1/60. Lihat juga, Zainal ‘Abidīn
bin Ibrāhīm bin Najim, al-Ashbāh wa al-Naẓāir ‘alā Madhab Abī Ḥanifah,
(Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1980), 1/66.
[6] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 77.
[7] Muhammad bin
Ismāʻīl al-Bukhāri, al-Jāmiʻ al-Musnad al-Ṣaḥīh al-Mukhtaṣar min
‘Umūr al-Rasūlillah, (Damaskus: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422), 7/9. Lihat
juga, ‘Ali bin Aḥmad al-Wāḥidi al-Naisāburi, Asbāb
al-Nuzūl wa bi Hamisyih al-Nāsihk wa al-Mansūkh, (Bairūt: ‘A̅lam
al-Kutub, t.t), 86.
[8] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 77.
[9] Dalan konteks
ini yang menjadi hukum adalah haram menikahi perempuan yatim, sedangkan sebab
hukumnya ialah dengan pernikahan tersebut bertujuan untuk menguasai dan
menghabiskan harta anak yatim serta tidak memperlakukannya sebagai mestinya
seorang istri. Bila ia menikahi anak yatim tidak bertujuan seperti itu (sebab
hukum), maka hukum haram (hukum) tidak berlalu. ‘Ali bin
Muhammad al-A̅midi, al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, (Bairūt: Dār
al-Kutub al-‘Arabi, 1404), 3/257.
[11] Muhammad bin Jarīr al-Ṭabari, Jāmiʻ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
(Bairūt: Muasassah al-Risālah, 2000), 7/540.
[12] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 82.
[13] Ibid., 99.
[14] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 77.
[15] Ibid., 108.
[16] Ibid., 99.
[17] Muhammad bin
Idrīs al-Shāfiʻi, Tafsīr al-Imām al-Shāfiʻi, (Saudi Arabiyah: Dār al-Tadmiriyah, 2006), 2/673.
[18] Muhammad Ṣiddīq Khān bin Ḥasan bin ʻAli, Fatḥ al-Bayān fī
Maqāṣid al-Qur’ān, (Bairut: al-Maktabah al-ʻAṣriyah, 1992), 3/257.